Tarif Sport Fishing Naik Drastis, Pelaku Usaha di Labuan Bajo Menjerit

Wisatarakyat.com – Kenaikan drastis tarif sport fishing di kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT), sejak Oktober 2024 mulai berdampak besar terhadap keberlangsungan usaha wisata setempat. Para pelaku usaha mengaku kehilangan penghasilan karena tidak lagi menerima tamu sejak tarif baru diberlakukan.
Dilansir dari https://beritaburung.news/ Salah satu yang terdampak langsung adalah Edison, pemilik MK2 Fishing Charter yang berbasis di Labuan Bajo. Ia mengungkapkan bahwa sejak tarif sport fishing dinaikkan menjadi Rp 5 juta per orang per hari, aktivitas usahanya praktis terhenti total.
“Saya belum ada tamu sejak kenaikan (tarif sport fishing di Taman Nasional Komodo),” ujar Edison, Dikutip dari https://beritaburung.news/ .
Ia menyebut banyak wisatawan membatalkan rencana memancing karena harga yang dinilai terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan pengalaman yang ditawarkan.
“Banyak (wisatawan) yang nggak jadi karena tarif nggak masuk akal,” ungkapnya.
Edison kini tidak lagi memiliki pekerjaan lain sebagai sumber penghasilan. Kondisi tersebut, menurutnya, turut dirasakan oleh pelaku usaha sejenis di kawasan Labuan Bajo yang menggantungkan hidup dari sport fishing.
Hal serupa juga dialami oleh PT Lumba-Lumba Tour & Travel, penyedia paket wisata sport fishing yang juga terdampak sepi wisatawan. Menurut Yustina Sedia, staf perusahaan, saat ini mereka hanya melayani tamu yang telah melakukan pemesanan sejak tahun 2023, sebelum tarif naik drastis.
“Yang datang sekarang ini tamu yang sudah booking tahun 2023. Karena kami jual paket ini, jual sekarang untuk berapa tahun ke depan,” jelas Yustina.
Karena minimnya tamu, aktivitas kantor pun dibatasi. Staf kini hanya masuk kerja tiga kali dalam seminggu, dan tidak ada pemasukan dari sektor sport fishing.
“Nggak ada income,” tegasnya.
Yustina mengungkapkan bahwa tingginya tarif bukan satu-satunya alasan wisatawan enggan kembali. Kurangnya hasil tangkapan ikan, khususnya jenis trevally raksasa (giant trevally/GT), juga membuat pengalaman memancing menjadi tidak memuaskan.
“Karena mereka bisa mancing itu tidak dapat ikan. Karena mereka target mancing ikan GT saja, tidak semua ikan,” ujar dia.
Baik Edison maupun Yustina berharap pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan tarif tersebut agar industri wisata memancing bisa kembali bergairah.
“Harus dikaji lagi,” desak Yustina.
Sebagaimana diketahui, tarif sport fishing di Taman Nasional Komodo melonjak dari Rp 25 ribu menjadi Rp 5 juta per orang per hari. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2024 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sebelumnya, acuan tarif mengacu pada PP Nomor 12 Tahun 2014.
Kepala Balai Taman Nasional Komodo, Hendrikus Rani Siga, sebelumnya menjelaskan bahwa tarif tinggi diterapkan sebagai bentuk kompensasi atas potensi gangguan terhadap kehidupan satwa liar di kawasan konservasi, terutama ikan.
“Alasan yang saya peroleh karena kegiatan ini mengganggu satwa liar terutama ikan yang ada di kawasan konservasi sehingga harus diberikan kompensasi yang seimbang,” jelas Hengki.
Namun, di tengah semangat konservasi yang dikedepankan pemerintah, suara para pelaku wisata yang terdampak seolah belum mendapat ruang. Ketimpangan antara kebijakan pelestarian dan nasib ekonomi warga lokal kini menjadi tantangan yang harus segera dijembatani. Jika tidak, bukan hanya pelaku usaha yang merugi, namun juga potensi wisata bahari yang selama ini menjadi andalan daerah.